Share Your Hobby!

Jumat, 07 September 2012

Baling-baling Bambu

17.39 Posted by SakhaN , No comments

Dinding kamar itu berlapis anyaman bambu. Di satu sisinya terdapat sebuah ranjang dari kayu jati. Ranjang itu menghadap ke arah pintu kamar. Di kedua sisi dinding lainnya terdapat rak buku besar. Berbagai macam buku dari berbagai negara tersusun rapi di atas rak itu, tampak sangat terawat. Di atas ranjang, Kakek Hadi berbaring. Menghabiskan hari-harinya hanya dengan berbaring, menunggu ajalnya tiba. Seakan ia hidup di dalam gua.
Pintu kamar terbuka pelan. Seorang perempuan masuk membawa sebuah nampan berisi semangkuk bubur ayam dan segelas teh hangat. Asap masih mengepul dari keduanya. “Silakan, Yah!” Perempuan itu meletakkan keduanya di atas papan yang di pasang di atas ranjang. Kakek Hadi menatap anaknya. Kerudung merah jambunya berayun tertiup angin dari jendela kamar. Lisa, anak terakhirnya. Usianya sudah hampir tigapuluh tahun, siap menikah. Tapi Lisa memilih menolak pinangan teman semasa kecilnya. Ia lebih suka merawat ayahnya yang seperti kayu.
“Ada yang dapat saya bantu Ayah?” Lisa menangkap kegalauan dari raut muka ayahnya.
“Tidak Lisa.”
Lisa segera keluar. Meninggalkan sang ayah di dalam kamarnya. Kakek Hadi menatap bubur di hadapannya. Ia tak segera menyuap bubur itu. Diambilnya sebuah buku hitam dari laci di bawah ranjangnya. Di sampulnya, terdapat sebuah tulisan berwarna emas “Takdirku”. Dibukanya halaman ke-102 buku itu. Di sana, ditulisnya beberapa kalimat
Aku yakin hari ini aku akan sembuh. Akan kubuatkan semangkuk bubur hangat untuk Lisa. Akan aku buatkan segelas teh hangat. Aku akan menyambut paginya lebih dahulu dari mentari sekalipun. Tidak berbaring seperti ini.
Suatu hari nanti, aku ingin melihat Lisa tersenyum memandangku. Aku sangat ingin melihat senyum bahagianya saat menikah kelak. Aku ingin menggendong cucuku yang lahir dari perut Lisa. Suatu saat nanti………
Diletakkannya buku itu di sampingnya, lalu ia makan bubur itu hingga habis.
Di luar kamar. Lisa tertegun. Tertangkap di matanya air mata ayahnya.
***
Udara malam berhembus pelan, membelai tubuh Kakek Hadi. Dingin. Dirapatkannya selimut putihnya. Seorang perempuan tua memasuki kamar, membelai wajah Kakek Hadi. Perempuan tua itu berbisik di dekat telinga Kakek Hadi, “Mas….Mas…..”. Mata Kakek Hadi terbuka. Dilihatnya, wajah istrinya tersenyum.
“Rini?” Kakek Hadi terkejut. Mendapati wajah sang istri yang sudah meninggal lima tahun yang lalu. Dikedipkannya matanya beberapa kali, ia tak percaya yang dilihatnya. Dalam hatinya, bergemuruh rasa senang yang luar biasa. Meski ini hanya mimpi, begitu pikirnya.
“Jangan takut!” Rini turut cemas.
“Kenapa kau bisa ada di sini?”
“Aku ingin menjengukmu. Apa kau tak merindukanku?”
“Rin….” Kakek Hadi meneteskan air mata.
“Ada apa, Mas? Bukankah kau dulu selalu bilang, kita harus sabar?”
“Tapi penyakit ini benar-benar menyiksaku. Aku hanya seperti batu. Aku hanya menghalangi mimpi Lisa. Aku ingin menyusulmu, Rin”
Nenek Rini berdiri. Kemudian berbalik menghadap jendela. Dilihatnya bulan yang sedang purnama. Kakek Hadi tak berkedip. “Jangan kau lawan takdir tuhan. Kita hanya menjalani. Lisa akan terpuruk dengan kepergianmu.”. Kakek Hadi menunduk dalam-dalam. Dicernanya semua yang diucapkan istrinya.
“Rin!” dipandangnya tempat istrinya berdiri. Di sana kini sudah tidak ada apa-apa selain hembusan angin malam. Kakek Hadi terkejut. Dilihatnya jendela kamar yang terbuka. Angin malam meniup-niup tirai. “Riniii…..!!!”
Sebuah tangan menyentuh pundaknya. Kakek Hadi terbangun. Dihadapannya, Lisa duduk dengan cemas.
“Ayah mimpi buruk?”
Kakek Hadi diam. Ditengoknya ke arah jendela. Di sana, hanya ada tirai yang dihembus-hembuskan angin. Lisa mengikuti arah yang dipandang ayahnya.
“Maaf, Yah. Saya lupa menutupnya.” Lisa segera berdiri. Tangan kecilnya menutup jendela kamar.
Di luar, sebuah baling-baling bambu kuning berputar. Menenjadi saksi kejadian malam itu.
***
Siang sudah terik. Di luar, matahari bersinar terang. Jam di kamar Kakek Hadi menunjukkan pukul 09.00. Masih terlalu pagi untuk udara panas. Di atas ranjang, Kakek Hadi tengah membaca sebuah buku. Sesekali dilihatnya ke luar jendela. Kakek Hadi termenung. Sayup-sayup didengarnya suara seorang anak laki-laki. Kakek Hadi segera tersenyum, tapat saat pintu kamarnya terbuka. Seorang anak laki-laki berlari masuk.
“Kakek!”
Andi. Anak laki-laki itu. Tampak begitu senang bertemu sang kakek. Ia segera melompat ke atas ranjang. Duduk di samping Kakek Hadi.
“Ada apa, Sayang?” Kakek Hadi membelai rambut Andi dengan penuh kasih sayang.
“Kakek! Andi nggak mau ikut Mama pergi.”
“Kenapa?”
“Andi nggak mau kalau nggak sama Kakek. Nanti Kakek sama siapa?”
Kakek Hadi terdiam. Ia tersenyum mendengar ucapan Andi. Air matanya menetes. Andi terdiam melihat kakeknya meneteskan air matanya. Andi mendekati wajah kakeknya. Dengan saputangannya, ia hapus air mata di wajah kakeknya. Mereka kemudian tertawa bersama. Kakek Hadi membungkuk, mengambil sesuatu dari kardus di bawah tempat tidurnya. Andi tersenyum lebar. Ia begitu senang melihat apa yang ada di tangan kakeknya. Sebuah baling-baling bambu. Baling-baling itu berputar pelan.
“Ambillah!”
Andi menerima baling-baling itu dengan senang, “Terimakasih, Kakek!”
Mereka berdua tertawa bersama lagi. Meniup-niup baling-baling itu hingga berputar.
“Sekarang, kalau Kakek tidak bisa menemani Andi, Andi bawa saja baling-baling ini. Anggap saja baling-baling ini Kakek. Mengerti?”
Andi mengangguk, menampakkan wajah kekanak-kanakkan yang lucu. Kakek Hadi tertawa lebar. Andi kemudian keluar, membawa baling-balingnya dengan langkah senang.
Suasana kamar itu kembali hening. Membawa Kakek Hadi kembali kesepian. Kembali ke dalam gua yang hening. Diambilnya buku hitamnya. Dibukanya halaman ke 103, lalu ditulisnya dalam buku itu
1/Maret/2011
Hari ini Andi membuatku meneteskan air mata. Ya Tuhan! Aku ingin selalu bersamanya. Aku ingin bisa menemaninya selalu. Andai aku bisa, aku mau menjadi baling-baling bambu yang membuatnya tertawa. Aku mau menjadi baling-baling yang berputar saat ia mengajakku berlari.
Bukan ya Tuhan! Bukan! Bukan ini yang kumau. Bukannya menjadi seorang kakek yang bagai jamur di dalam gua. Yang hanya bisa menunggu di jenguk. Seakan-akan aku hanyalah jamur yang hanya bisa dikasihani.
Ya Tuhan! Andai kau mau, aku rela menjadi baling-baling yang selalu berputar di bawah sinar mentari. Bukan menjadi jamur yang hanya bisa berkhayal tentang wujud matahari.
Sinar matahari menyinari tubuh Kakek Hadi. Angin siang menggoyang-goyangkan tirai kamar itu. Di dekat jendela, sepasang kakek-nenek bergandeng tangan. Menatap ke luar. Tubuh mereka tampak bersinar, terlebih wajah mereka yang tampak bahagia.
***
Lisa berdiri mematung di depan pintu. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Samar-samar, dilihatnya siluet tubuh ayah dan ibunya bergandengan tangan. Sinar matahari menembus tubuh mereka, membuat mereka tampak berkilauan. Pelan-pelan tubuh itu memudar, hingga akhirnya menghilang.
Lisa membalikkan badan. Dibelakangnya, Sinta, kakaknya berdiri mematung. Disampingnya, kakak iparnya menggandeng tangan Andi. Andi melepas gandengan tangannya dan berlari ke arah tubuh kakeknya. Baling-baling di tangannya berputar semakin lambat, hingga akhirnya berhenti. Tangis Andi pecah saat itu juga. Membuyarkan pikiran Lisa. Lisa dan Sinta segera mendekati tubuh ayah mereka. Sinta menyentuh tubuh ayahnya. Dingin.
“Lis..sa…!” air Sinta menetes. Tangannya gemetar menutup mata jenazah ayahnya. Entah mengapa, Lisa hanya terdiam. Di sampingnya, Andi menangis meraung-raung. Diserahkannya buku kakeknya pada Lisa. Pada bagian bawah halaman itu terdapat tulisan kakek Hadi
Ini bukan halaman terakhir dalam hidupku. Tetapi inilah awal hidupku. Akuu akan bermain dengan Andi di padang rumput. Berputar bersama langkah larinya. Melihatnya tertawa. Bersama Rini. Aku harap Lisa tak berputus asa dalam hidupnya. Aku tahu. Sudah dekat saatku menyusul Rini. Aku ingin Lisa bahagia.
Maafkan ayahmu, Lis.
Hadi Prayoga
Lisa dan Sinta berpaling. Kosong, Andi sudah hilang entah kemana. Sinta segera mencarinya ke luar. Dilihatnya Andi duduk di atas rumput di belakang rumah. Di halaman belakang rumah itu tak ada apa-apa, selain dua buah baling-baling bambu yang berputar beriringan. Berputar pelan. Seakan-akan turut berduka dengan keluarga itu. Menangis bersama Andi.
Di suatu tempat. Di padang rumput yang luas, Kakek Hadi dan Nenek Rini berdiri beriringan. Wajah mereka tampak lebih muda. Di hadapannya, seorang anak duduk termenung. Menatap jauh kearah mereka. Semuanya diam. Hanya terdengar suara angin yang menggoyang-goyangkan rerumputan. Kakek Hadi memanggil-manggil nama Andi. Andi terbangun, berdiri, pelan-pelan dikejarnya tubuh sang kakek yang telah berlari. Mereka tertawa bersama. Berlarian di bawah terik matahari. Berguling-guling di rumput. Kakek Hadi terlupa jika ia seonggok batu dalam gua.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Budayakan memberi komentar ya guys!