Dinding
kamar itu berlapis anyaman bambu. Di satu sisinya terdapat sebuah ranjang dari
kayu jati. Ranjang itu menghadap ke arah pintu kamar. Di kedua sisi dinding
lainnya terdapat rak buku besar. Berbagai macam buku dari berbagai negara
tersusun rapi di atas rak itu, tampak sangat terawat. Di atas ranjang, Kakek Hadi
berbaring. Menghabiskan hari-harinya hanya dengan berbaring, menunggu ajalnya
tiba. Seakan ia hidup di dalam gua.
Pintu
kamar terbuka pelan. Seorang perempuan masuk membawa sebuah nampan berisi
semangkuk bubur ayam dan segelas teh hangat. Asap masih mengepul dari keduanya.
“Silakan, Yah!” Perempuan itu meletakkan keduanya di atas papan yang di pasang
di atas ranjang. Kakek Hadi menatap anaknya. Kerudung merah jambunya berayun
tertiup angin dari jendela kamar. Lisa, anak terakhirnya. Usianya sudah hampir
tigapuluh tahun, siap menikah. Tapi Lisa memilih menolak pinangan teman semasa
kecilnya. Ia lebih suka merawat ayahnya yang seperti kayu.
“Ada
yang dapat saya bantu Ayah?” Lisa menangkap kegalauan dari raut muka ayahnya.
“Tidak
Lisa.”
Lisa
segera keluar. Meninggalkan sang ayah di dalam kamarnya. Kakek Hadi menatap
bubur di hadapannya. Ia tak segera menyuap bubur itu. Diambilnya sebuah buku
hitam dari laci di bawah ranjangnya. Di sampulnya, terdapat sebuah tulisan
berwarna emas “Takdirku”. Dibukanya halaman ke-102 buku itu. Di sana,
ditulisnya beberapa kalimat
Aku
yakin hari ini aku akan sembuh. Akan kubuatkan semangkuk bubur hangat untuk
Lisa. Akan aku buatkan segelas teh hangat. Aku akan menyambut paginya lebih
dahulu dari mentari sekalipun. Tidak berbaring seperti ini.
Suatu
hari nanti, aku ingin melihat Lisa tersenyum memandangku. Aku sangat ingin
melihat senyum bahagianya saat menikah kelak. Aku ingin menggendong cucuku yang
lahir dari perut Lisa. Suatu saat nanti………
Diletakkannya
buku itu di sampingnya, lalu ia makan bubur itu hingga habis.
Di
luar kamar. Lisa tertegun. Tertangkap di matanya air mata ayahnya.
***
Udara
malam berhembus pelan, membelai tubuh Kakek Hadi. Dingin. Dirapatkannya selimut
putihnya. Seorang perempuan tua memasuki kamar, membelai wajah Kakek Hadi.
Perempuan tua itu berbisik di dekat telinga Kakek Hadi, “Mas….Mas…..”. Mata
Kakek Hadi terbuka. Dilihatnya, wajah istrinya tersenyum.
“Rini?”
Kakek Hadi terkejut. Mendapati wajah sang istri yang sudah meninggal lima tahun
yang lalu. Dikedipkannya matanya beberapa kali, ia tak percaya yang dilihatnya.
Dalam hatinya, bergemuruh rasa senang yang luar biasa. Meski ini hanya mimpi, begitu pikirnya.
“Jangan
takut!” Rini turut cemas.
“Kenapa
kau bisa ada di sini?”
“Aku
ingin menjengukmu. Apa kau tak merindukanku?”
“Rin….”
Kakek Hadi meneteskan air mata.
“Ada
apa, Mas? Bukankah kau dulu selalu bilang, kita harus sabar?”
“Tapi
penyakit ini benar-benar menyiksaku. Aku hanya seperti batu. Aku hanya
menghalangi mimpi Lisa. Aku ingin menyusulmu, Rin”
Nenek
Rini berdiri. Kemudian berbalik menghadap jendela. Dilihatnya bulan yang sedang
purnama. Kakek Hadi tak berkedip. “Jangan kau lawan takdir tuhan. Kita hanya
menjalani. Lisa akan terpuruk dengan kepergianmu.”. Kakek Hadi menunduk
dalam-dalam. Dicernanya semua yang diucapkan istrinya.
“Rin!”
dipandangnya tempat istrinya berdiri. Di sana kini sudah tidak ada apa-apa
selain hembusan angin malam. Kakek Hadi terkejut. Dilihatnya jendela kamar yang
terbuka. Angin malam meniup-niup tirai. “Riniii…..!!!”
Sebuah
tangan menyentuh pundaknya. Kakek Hadi terbangun. Dihadapannya, Lisa duduk
dengan cemas.
“Ayah
mimpi buruk?”
Kakek
Hadi diam. Ditengoknya ke arah jendela. Di sana, hanya ada tirai yang
dihembus-hembuskan angin. Lisa mengikuti arah yang dipandang ayahnya.
“Maaf,
Yah. Saya lupa menutupnya.” Lisa segera berdiri. Tangan kecilnya menutup
jendela kamar.
Di
luar, sebuah baling-baling bambu kuning berputar. Menenjadi saksi kejadian
malam itu.
***
Siang
sudah terik. Di luar, matahari bersinar terang. Jam di kamar Kakek Hadi
menunjukkan pukul 09.00. Masih terlalu pagi untuk udara panas. Di atas ranjang,
Kakek Hadi tengah membaca sebuah buku. Sesekali dilihatnya ke luar jendela.
Kakek Hadi termenung. Sayup-sayup didengarnya suara seorang anak laki-laki.
Kakek Hadi segera tersenyum, tapat saat pintu kamarnya terbuka. Seorang anak
laki-laki berlari masuk.
“Kakek!”
Andi.
Anak laki-laki itu. Tampak begitu senang bertemu sang kakek. Ia segera melompat
ke atas ranjang. Duduk di samping Kakek Hadi.
“Ada
apa, Sayang?” Kakek Hadi membelai rambut Andi dengan penuh kasih sayang.
“Kakek!
Andi nggak mau ikut Mama pergi.”
“Kenapa?”
“Andi
nggak mau kalau nggak sama Kakek. Nanti Kakek sama siapa?”
Kakek
Hadi terdiam. Ia tersenyum mendengar ucapan Andi. Air matanya menetes. Andi terdiam
melihat kakeknya meneteskan air matanya. Andi mendekati wajah kakeknya. Dengan
saputangannya, ia hapus air mata di wajah kakeknya. Mereka kemudian tertawa
bersama. Kakek Hadi membungkuk, mengambil sesuatu dari kardus di bawah tempat
tidurnya. Andi tersenyum lebar. Ia begitu senang melihat apa yang ada di tangan
kakeknya. Sebuah baling-baling bambu. Baling-baling itu berputar pelan.
“Ambillah!”
Andi
menerima baling-baling itu dengan senang, “Terimakasih, Kakek!”
Mereka
berdua tertawa bersama lagi. Meniup-niup baling-baling itu hingga berputar.
“Sekarang,
kalau Kakek tidak bisa menemani Andi, Andi bawa saja baling-baling ini. Anggap saja
baling-baling ini Kakek. Mengerti?”
Andi
mengangguk, menampakkan wajah kekanak-kanakkan yang lucu. Kakek Hadi tertawa
lebar. Andi kemudian keluar, membawa baling-balingnya dengan langkah senang.
Suasana
kamar itu kembali hening. Membawa Kakek Hadi kembali kesepian. Kembali ke dalam
gua yang hening. Diambilnya buku hitamnya. Dibukanya halaman ke 103, lalu
ditulisnya dalam buku itu
1/Maret/2011
Hari
ini Andi membuatku meneteskan air mata. Ya Tuhan! Aku ingin selalu bersamanya.
Aku ingin bisa menemaninya selalu. Andai aku bisa, aku mau menjadi
baling-baling bambu yang membuatnya tertawa. Aku mau menjadi baling-baling yang
berputar saat ia mengajakku berlari.
Bukan
ya Tuhan! Bukan! Bukan ini yang kumau. Bukannya menjadi seorang kakek yang
bagai jamur di dalam gua. Yang hanya bisa menunggu di jenguk. Seakan-akan aku
hanyalah jamur yang hanya bisa dikasihani.
Ya
Tuhan! Andai kau mau, aku rela menjadi baling-baling yang selalu berputar di
bawah sinar mentari. Bukan menjadi jamur yang hanya bisa berkhayal tentang
wujud matahari.
Sinar
matahari menyinari tubuh Kakek Hadi. Angin siang menggoyang-goyangkan tirai
kamar itu. Di dekat jendela, sepasang kakek-nenek bergandeng tangan. Menatap ke
luar. Tubuh mereka tampak bersinar, terlebih wajah mereka yang tampak bahagia.
***
Lisa
berdiri mematung di depan pintu. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
Samar-samar, dilihatnya siluet tubuh ayah dan ibunya bergandengan tangan. Sinar
matahari menembus tubuh mereka, membuat mereka tampak berkilauan. Pelan-pelan
tubuh itu memudar, hingga akhirnya menghilang.
Lisa
membalikkan badan. Dibelakangnya, Sinta, kakaknya berdiri mematung.
Disampingnya, kakak iparnya menggandeng tangan Andi. Andi melepas gandengan tangannya
dan berlari ke arah tubuh kakeknya. Baling-baling di tangannya berputar semakin
lambat, hingga akhirnya berhenti. Tangis Andi pecah saat itu juga. Membuyarkan
pikiran Lisa. Lisa dan Sinta segera mendekati tubuh ayah mereka. Sinta
menyentuh tubuh ayahnya. Dingin.
“Lis..sa…!”
air Sinta menetes. Tangannya gemetar menutup mata jenazah ayahnya. Entah
mengapa, Lisa hanya terdiam. Di sampingnya, Andi menangis meraung-raung.
Diserahkannya buku kakeknya pada Lisa. Pada bagian bawah halaman itu terdapat tulisan
kakek Hadi
Ini
bukan halaman terakhir dalam hidupku. Tetapi inilah awal hidupku. Akuu akan
bermain dengan Andi di padang rumput. Berputar bersama langkah larinya.
Melihatnya tertawa. Bersama Rini. Aku harap Lisa tak berputus asa dalam
hidupnya. Aku tahu. Sudah dekat saatku menyusul Rini. Aku ingin Lisa bahagia.
Maafkan
ayahmu, Lis.
Hadi
Prayoga
Lisa
dan Sinta berpaling. Kosong, Andi sudah hilang entah kemana. Sinta segera
mencarinya ke luar. Dilihatnya Andi duduk di atas rumput di belakang rumah. Di
halaman belakang rumah itu tak ada apa-apa, selain dua buah baling-baling bambu
yang berputar beriringan. Berputar pelan. Seakan-akan turut berduka dengan
keluarga itu. Menangis bersama Andi.
Di suatu
tempat. Di padang rumput yang luas, Kakek Hadi dan Nenek Rini berdiri
beriringan. Wajah mereka tampak lebih muda. Di hadapannya, seorang anak duduk
termenung. Menatap jauh kearah mereka. Semuanya diam. Hanya terdengar suara
angin yang menggoyang-goyangkan rerumputan. Kakek Hadi memanggil-manggil nama
Andi. Andi terbangun, berdiri, pelan-pelan dikejarnya tubuh sang kakek yang
telah berlari. Mereka tertawa bersama. Berlarian di bawah terik matahari.
Berguling-guling di rumput. Kakek Hadi terlupa jika ia seonggok batu dalam gua.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Budayakan memberi komentar ya guys!