Aku tak percaya lagi dengan mataku. Aku tak percaya dengan apa yang
kulihat. Bagaimana mungkin Mita yang selama ini kupercaya dapat mengkhianatiku
sedemikian rupa. Agasa dengan
cepat mengambil pedang yang masih tersampir di pinggangnya.
“Aku lebih percaya pada janji Mita dari pada apa yang telah aku
lihat ini. Jika dia benar, berarti mata ini berbohong.” Tanpa pikir panjang,
ditusukkannya kedua pedang yang digenggamnya itu tepat ke kedua matanya.
AKH! Ia terjatuh
dari tempatnya. Berguling-guling ke lantai. Mita dan seluruh anggota
keluarganya memandang tak percaya.
***
Agasa memandang jenazah yang dibawa masuk kedalam halaman rumahnya.
Mereka adalah anggota keluarganya yang mati terbunuh. Kini keluarganya,
keluarga besar Hattori, sedang dalam masa krisis perang melawan keluarga besar
Kobayashi. Kata orang-orang, persaingan dua keluarga ini tak akan berhenti
sebelum dua keluarga ini musnah. Pemikiran yang logis, mengingat beberapa
diantara jenazah itu hanya keluarga angkat. Agasa sendiri tak tahu ada berapa
banyak keluarga angkat yang akan membela klannya.
Hari ini seorang perempuan datang kerumahnya. Tampaknya bukan orang
Jepang. Ia tahu sopan santun, tetapi ada hal lain yang membuatnya tertarik
dengan perempuan tersebut.
“Hajimemashite, Watashi wa Aruka desu.” Perempuan itu
tampaknya menyadari pandangan Agasa. Tak sempat Agasa menjawab, Ayah sudah
muncul dihadapan mereka dan membawa perempuan itu masuk ke ruangannya. Lama
sekali mereka berbincang hingga Ayah memanggilnya.
“Agasa, kau harus ke Indonesia. Dan kau kesana hanya dengan Aruka.
Dia ibumu.”
Agasa terkejut. Ada rasa senang mendapati ibunya masih hidup.
Selain itu, ia kini mengetahui tujuan Ayah memaksanya belajar bahasa Indonesia.
Aruka. Selama ini Ayah hanya bilang ibunya ada di suatu tempat yang jauh.
Sampai-sampai Agasa pikir ibunya telah meninggal. Ia tersenyum menahan air
matanya. Dihampirinya Aruka dan dipeluknya. “Ibuuu….”. Tiba-tiba…..BYURRR!
“AGUS! BANGUNLAH!”
Agasa terbangun dari tidurnya. Bajunya kini basah kuyup. Disamping
ranjangnya, Ibu membawa baskom kosong.
“Sudah siang. Lekas mandi dan sarapan!” Ibu meninggalkannya
sendirian setelah memastikan Agasa benar-benar bangun.
Agasa melamunkan mimpinya. Ia teringat perpisahannya dengan Ayah.
Juga terlepasnya rasa was-was karena merasa sudah jauh dari masalah keluarga.
Di Indonesia, ia berganti nama menjadi Agus. Ibu bilang itu justru nama
aslinya. Sementara nama asli Ibu adalah Arum. Nama belakangnya ikut diganti
dengan nama Harto. Ibu dan Ayah bilang demi keselamatan. Sementara tetangga
bilang, nama itu tidak cocok dengan wajahnya yang lebih mirip Ayah.
“Kau tidak mandi juga?! Atau aku suruh Mita pergi saja?” Ibu
kembali menengok dari pintu.
“Hah! Mita? kenapa Ibu tidak bilang?”
Agasa melompat dari tempat tidurnya. Diambilnya baju dan handuk
dari tempat gantungan. Ia segera berlari ke arah kamar mandi.
***
Di ruang tamu, Mita bersungut-sungut saat melihat Agasa turun. Ia
lebih sebal lagi saat melihat wajah Agasa yang seakan-akan tak pernah melakukan
kesalahan apapun. Mita menepis tangan Agasa yang ingin menggandengnya. Rasanyha
benar-benar muak. Mita membuang muka.
“Kamu kenapa, sih?” Agasa duduk di sebelah Mita.
Mita bergeser beberapa senti sebelum menjawab, “Kamu pikir sendiri!
Apa salah kamu.”
“Iya deh. Aku ngaku salah. Maaf!” Agasa memohon dihadapan Mita.
Mita tetap membuang muka padanya. Tanpa putus asa, Agasa memasang muka lucu
sambil terus memohon. Mita yang sebenarnya tak begitu marah, tersenyum melihat
kelakuan Agasa. Ia segera berdiri dan berjalan keluar.
Agasa masih duduk sambil menatap kebingungan. Tiba-tiba Mita
berbalik, “Ayo adek kecil!”. Ia memanggil Agasa sambil menirukan gaya seorang
baby sister.
Agasa tersenyum. Ia kemudian bangkit sambil tersenyum. Mereka
memasuki mobil dengan senyum kebahagiaan.
***
Agasa duduk tenang. Di sampingnya, Mita sedang asik membuka makanan
yang baru saja mereka beli. Dipandanginya wajah Mita. Sama seperti dirinya, ada
wajah Jepang pada diri Mita. Tetapi ia tak pernah tahu. Mita takpernah menjawab
setiap kali pertanyaan itu diajukannya.
Ia dan Mita bertemu saat mereka sama-sama baru pindah ke SMA. Ya,
Agasa dimasukkan ke salah satu SMA negeri di kotanya. Rasa terasing yang sama
membuat mereka menjadi cocok. Mereka sama-sama sering menyendiri di dalam
perpustakaan. Ia sebenarnya sudah lama merasa tertarik dengan Mita. Tetapi ia
baru berani menyatakan perasaannya saat semester tiga. Untunglah ia satu
jurusan dengan Mita. Kini mereka baru saja lulus kuliah. Rasanya sudah lama
Agasa mengenal Mita. Rasanya, Ia dapat mempercayai Mita. Cukup sudah ia
memendam rahasia keluarganya dari gadis yang dicintainya. Lagipula, Mita pintar
bela diri. Ia pasti dapat menjaga dirinya. Rasa ingin member tahunya
meluap-luap. ia sudah tidak tahan klagi.
“Ini!” Mita menyerahkan makanan untuknya.
Agasa menerimanya dengan gugup. Ia tak bernafsu untuk makan.
“Ada apa?” Mita menyadari kediaman Agasa. Dihentikannya kegiatan
makannya untuk mengkhawatirkan kekasihnya.
“Mita, aku pengin cerita sesuatu.”
“Oo..h, ngomong aja.” Mita melanjutkan aktifitas makannya.
“Tapi kamu harus janji. Kamu bakal simpan rahasia ini.”
Mita menganngguk. Perhatiannya tetap tak teralih dari tempat
makannya.
Agus menceritakan semua yang ia pendam selama ini. Ia merasa senang
dapat berbagi sesuatu yang selama ini ia rahasiakan. Ia terlalu semangat
bercerita. Sampai-sampai ia tak menyadari perubahan raut muka Mita. Ia sudah
menghentikan makannya. Ia kini mendengarkan cerita Agasa dengan perhatian
penuh.
Di sana. Tak ada yang melihat. Air mata Mita menetes.
***
Agasa memasukkan mobil ke halaman rumahnya. Pandangannya tertarik
pada kaca pintu yang pecah. Apa itu? Ia segera keluar dari mobilnya.
Tergesa-gesa ia berlari memasuki ruang tamu.
Ia terkejut. Di dalam sana ruangan tampak berantakan. Benar-benar
mengerikan. Agasa syok mendapati rumah yang telah begini. Tubuhnya lemas. Ia
terduduk tak bertenaga. Dipandanginya lantai rumahnya. Wajah ibunya muncul
kembali dalam ingatannya.
Sesuatu di lantai menarik perhatiannya. Sebuah kertas. Ada tulisan
ibunya disana. Cukup singkat. ‘Gadismu gadis Harada. Tolong! Ibu dibawa ke
rumahnya.’ Nama itu. Nama yang selama ini tak mau ia dengar. Nama yang
telah membunuh orang-orang dari keluarganya.
Ini tidak mungkin!
Batinnya menolak kebenaran yang baru diketahuinya. Ia teringat bagaimana Mita
tergesa-gesa pulang stelah ia menceritakan rahasianya. Ia teringat saat Mita
menolak tawarannya untuk diantar pulang.
Agasa segera bangkit. Diambilnya pedang milik ibunya. Ia tahu
daimana ibunya menyimpan pedang. Diambilnya pula pedang miliknya sendiri.
Dengan hati yang terluka, dan rasa dikhianati, Agasa melangkah meninggalkan
rumahnya. Tujuannya hanya satu. Membunuh Mita.
***
Agasa memandang rumah di sebrang. Rumah yang dulu sangat ia sukai,
kini sangat dibencinya. Rumah milik gadis yang dulu membuatnya tergila-gila.
Agasa menunggu gelap. Kemudian ia melangkah.
***
Agasa mengendap-endap dalam rumah Mita. Sepi. Kemana semua
orang? Ia kembali mengendap-endap memasuki kamar Mita.
Kamar tampak lenggang dan rapi. Ada selembar kertas sudah
diremas-remas. Dibacanya tulisan diatasnya, ‘Miko. Ayah mendapat informasi
menarik. Pitra satu-satunya dari keluarga yang telah membunuh ibumu tinggal di
kota yang sama. Mereka belum mengetahiu keberadaanmu. Berjanjilah pada Ayah,
bunuh seluruh keluarganya!’
Agasa menyobek-nyobek lembaran itu. Kemudian membuangnya.
Pendengarannya menajam. Ia mendengar langkah seseorang mendekat. Ia segera
bersembunyi di bagian tertutup di kamar itu. Tepat saat salah seorang memasuki
kamar.
Agasa terkejut. Mita tampak menggendong ibunya yang berlumuran
darah. Dipinggangnya tersampir sebuah pedang yang juga berlumuran darah.
Sementara diluar pintu, beberapa anggota keluarga Harada mendampingi. Saat
itulah hati Agasa merasa semakin terbohongi. Ia tak percaya pada pandanganya.
Aku tak percaya lagi dengan mataku. Aku tak percaya dengan apa yang
kulihat. Bagaimana mungkin Mita yang selama ini kupercaya dapat mengkhianatiku
sedemikian rupa. Agasa dengan
cepat mengambil pedang yang masih tersampir di pinggangnya.
“Aku lebih percaya pada janji Mita dari pada apa yang telah aku
lihat ini. Jika dia benar, berarti mata ini berbohong.” Tanpa pikir panjang,
ditusukkannya kedua pedang yang digenggamnya itu tepat ke kedua matanya.
AKH! Ia terjatuh
dari tempatnya. Berguling-guling ke lantai. Mita dan seluruh anggota
keluarganya memandang tak percaya.
Agasa tak tahu. Ia tak pernah tahu jika sebenarnya Mita dan
beberapa keluarganya justru menyelamatkan Ibunya dari pemberontakan. Darah yang
ada di pedang itupun sebenarnya darah yang mengalir dari pinggangnya yang
terkena sabetan pedang musuh. Tak ada yang pernah menyangka kejadian itu akan
terjadi. Tak ada yang percaya jika cinta itu benar-benar membuat buta.
0 komentar:
Posting Komentar
Budayakan memberi komentar ya guys!