Setangkai mawar putih
tergeletak di depan pintu rumah? Tidak, tepatnya di depan pintu gubukku. Heran
aku mengapa semua laki-laki melakukan itu? Segala warna mawar, segala macam
bunga telah mampir di depan pintu gubukku. Aku lelah menerimanya. Berapa kali
harus kukatakan pada laki-laki sialan itu bahwa aku tidak suka bunga, coklat,
pukaran pink, dan boneka. Cowok-cowok itu boleh saja mengira semua gadis suka
diperlakukan seperti itu, tapi yang pasti aku bukan salah satu dari gadis-gadis
itu.
Aku masuk lagi ke dalam
rumah dan membiarkan mawar-mawar itu tergeletak di depan pintu. Biarlah mawar
itu layu di tempat. Aku mulai memanaskan air untuk membuat the dan menggoreng
pisang goreng. Kulihat ibuku masih tidur nyenyak di kamar yang kami gunakan berdua.
Ibuku wanita yang cantik dan hebat. Kalau bukan Janus, turis Australia bajingan
yang sialnya adalah ayahku, mungkin ibu saat ini masih berdiri di panggung
teater yang megah serta menerima tepukan antusias penonton dan tentu saja ia
tidak akan pernah mengenal gubuk kumuh ini. Tentu aku juga tak perlu lahir,
apalagi memendam sakit hati yang mendalam terhadap ayah.
Selesai membuat sarapan
untuk ibu, aku bersiap-siap pergi bekerja. Aku Cuma seorang pembantu di komplek
perumahan depan kampung kumuh ini. Kami tidak punya biaya untuk sekolah, jadi
aku belajar sendiri. Sesekali membeli buku bekas jika punya uang lebih, dan
belajar teater dari ibuku. Kutatap cermin sambil menyisir rambut berwarna
tembaga sepinggang milikku. Cuma ini yang diwariskan ayahku yang tak tahu
seperti apa mukanya. Kata ibu, mata coklatku seperti matanya. Aku selalu
tersiksa membayangkan mata inilah yang akan kulihat saat menatap orang yang
paling kubenci karena telah mencampakkan ibuku.
“Fiona….ayo cepat nanti
telat lho”
Segera aku meninggalkan
pesan untuk ibu dan ke kamar menemui Santi, sahabatku yang juga bekerja di
komplek depan. Kami berjalan beriringan.
“Dapat bunga lagi ya?”
selidik Santi. Hanya kujawab dengan anggukan malas.
“Enak banget sih kamu,
Fi… semua cowok naksir sama kamu. Lagian mana ada orang yang bule-bule kayak
kamu di sini, di kampong ini.”
“Ah, tapi malas, San.
Cowok tuh sama semua. Lihat yang bening dikit langsung hajar. Kalau udah bosan
buang trus cari lagi.” Aku langsung teringat ayah.
Santi yang sudah hafal
pada keenggananku akan lelaki yang hanya mengangkat bahu. Begitu sampai di
depan komplek, aku berbelok ke kanan, sedangkan Santi ke kiri. Rumah tempatku
bekerja adalah sepasang pengacara kaya, mereka memiliki anak laki-laki tapi aku
belum belum pernah bertemu dengannya.
Seperti biasa, aku mulai pekerjaan dengan
menyapu dan mengepel lantai. Dilanjutkan mengelap kaca, mencuci baju, dan
berbagai pekerjaan Cinderella lainnya. Aku tidak suka bekerja seperti ini.
Sebenarnya aku ingin sekali sekolah dan melanjutkan mimpi di panggung teater.
Gara-gara ayah tidak mau memakai ibu di panggung lagi, sehingga kami harus
tinggal di perumahan kumuh itu. Aku membereskan kamar pasangan pengacara itu,
dilanjutkan dengan kamar anak mereka. Kubuka pintu bertuliskan “Adam’s”. Aku
sedang membereskan meja saat kulihat setumpuk kertas di ujung meja. Macbeth by
William Shakespeare. Wow, ibu punya naskah ini bekas dulu saat memerankan Lady
Macbeth. Naskah itu sudah lusuh karena termakan waktu dan sering kubuka-buka.
Pintu berdecit keras dan aku langsung menoleh ke belakang. Kulihat seorang
laki-laki sebaya denganku memakai jins abu-abu dan kaos hitam.
“Adam! Ngagetin aja!”
jantungku berdegup kencang sekali.
“Eh…Fiona ya? Maaf aku
gak tahu. Kukira tadi sudah pulang.”
Ini pertama kalinya
akumelihat Adam secara langsung. Pasti ia sama saja dengan cowok-cowok kurang
kerjaan yang hobi meninggalkan mawar di depan pintuku. Hanya saja, Adam jauh
lebih keren dari cowok-cowok itu.
“Oh ya sudah. Aku juga
tinggal mencuci piring. Mencuci terus, seperti Lady Macbeth. Tapi ia kira noda
darah di tangannya tak hilang-hilang. Kalau aku memang kerjaannya nggak
beres-beres.” Aku tersenyum.
“Wow! Kamu baca naskah
itu”
“Nggak sih, aku sudah
baca, aku suka”
Adam tampaktakjub. Aku
tersenyum lagi dan mohon diri ke dapur untuk mencuci piring.
Tak lama, Adam ikut
menyusul ke dapur dan dengan santai ia duduk di lantai. Ia menemaniku cuci
piring sambil membahas karya-karya Shakespeare yang lain. Aku senang karena
akhirnya ada orang selain ibu yang bias kuajak berbincang mengenai hal-hal yang
kusuka.
Di perjalanan pulang,
Adam memenuhi pikiranku. Dia benar-benar tak seperti yang lain. Saat
cowok-cowok lain cuma bias menggombal untuk mendapat perhatianku, Adam
betul-betul menarik. Huh, tapi itu juga kan yang terjadi pada ibu saat bertemu
ayah? Memang jatuh cinta itu tiada berguna.
***
Aku datang lebih pagi
dari biasanya dan mendengar suara piano mengalun lembut. Aku penasaran siapa
yang memainkannya. Belum pernah aku mendengar piano di ruang tengah itu
dimainkan.
“Für Elise” aku
menghampiri piano.
“Eh, Fiona! Tumben
sudah dating! Wow, kamu tau Für Elise juga?” Adam takjub lagi.
“Iya, aku selalu pengin
lho, bisa main piano” kutatap piano penuh damba.
Setelah nada terakhir
dimainka, adam langsung menatapku.ia bingung kenapa aku yang….yah…pembantu,
bias tahu hal-hal seperti Shakespeare dan Beethoven. Adam juga bingung kenapa
rambutku berwarna tembaga dan wajahku tidak seperti orang Indonesia. Dengan
enggan aku memberitahu bahwa ayahku orang Australia. Hanya itu yang kukatakan.
Tak peduli betapa wajah Adam penasaran setengah mati. Aku meninggalkannya untuk
bekerja.
***
“Fi, kamu pasti ada
apa-apanya deh. Beberapa minggu kemarin senang melulu, sekarang tuh muka kayak
dilipat tujuh kali.” Santi memainkan rambutku.
Saat ini kami sedang
duduk di teras rumahnya. Kebetulan hari ini pekerjaan kami selesai lebih cepat.
Beberapa hari ini, Adam pergi entah kemana dan entah mengapa itu mempengaruhi
mood-ku. Padahal gara-gara Adam aku menjadi semangat bekerja. Kita sudah
seperti sahabat, ia bahkan sudah tahu kisah ayah-ibuku. Itu benar-benar
membuatku frustasi, aku tak pernah mengalami hal yang seperti ini. Apalagi cuma
masalah cowok. Apa aku…suka Adam? Hah, tidak mungkin. Aku tak akan pernah jatuh
ke dalam lubang tempat ibuku jatuh sebelumnya.
“Fiona…kalau udah
galau-galau gini biasanya lagi jatuh cinta nih”
“Ih apa sih…nggak lah,
nggak mungkin”
“Siapa ya? Hmmm….pasti
anak si pengacara itu ya! Nah hlooo….”
Aku hanya mendorong
lengan Santi pelan. Tak mungkin akujatuh cinta pada Adam. Adam Cuma sekedar
memenuhi isi kepalaku, menambah pengetahuanku tentang teater dan music,
membuatku ingin cepat-cepat pergi bekerja dan mempegaruhi mood-ku. Wah gawat!
Tidak, aku tidak boleh membuka hati pada siapapun. Apalagi Adam. Jagan-jangan
dia lebih parah dari yang lain atau mungkin lebih parah dari ayah.
***
“Fiona!”
“wah! Hai Adam! Kemana
saja kamu?”
“Aku baru saja pulang
dari New York dan nonton Wicked!”
“Wah..asyik banget! Aku
selalu pengen liat Wicked”
Adam menceritakan
pengalamannya selama di New York. Bahkan membawakanku CD lagu-lagu yang
dipentaskan di Wicked. Dia bercerita panjang lebar sementara aku meneruskan
pekerjaan. Ia mengikutiku kemana-mana sambil mengoceh. Setelah itu, ia
mengajakku pergi akhir minggu ini untuk bebincang-bincang lebih banyak. Aku kaget
dan sedikit ge-er.
“Hmmm….kenapa enggak
sekarang aja?” aku pura-pura santai.
“Ya, kan kamunya sibuk
gitu….nanti kan santai jadi enak. Terus aku juga mau bilang sesuatu.”
“Umm…oke deh, tapi
belum tentu ya. Aku harus minta ijin ibu dulu”
***
Selama sisa hari menuju
akhir minggu, aku gelisah. Apa yang kulakukan jika Adam menyatakan perasaan
padaku? Apa yang kukatakan? Aku kan tak mau menjalin hubungan dengan laki.
Bagaimana jika…..bagaimana jika…bagaimana jika. Pikiranku dipenuhi dengan
‘Bagaimana Jika’. Aku memutuskan untuk memberi tahu ibu. Anehnya ibu
mendukungku dan menerima pernyataan cinta dari Adam, katanya manusia yang
tersakiti karena cinta itu biasa.
Malam minggu tiba. Adam
mengajakku jalan-jalan ke took music. Aku menggunakan minidress biru cerah
milik ibuku dulu. Adam mengajakku makan malam di restoran pasta.
“Fiona…aku mau bilang
sesuatu” Ayolah Adam nyatakan perasaanmu padaku.
“Apa Adam?” aku
menjawab tersipu.
“Sebenarnya aku suka…”
katakan Adam, katakan kamu
suka aku, aku tidak sabar.
“Aku suka dengan teman
kuliahku berama Jeremy. Sebenarnya aku gay. Aku tidak berani bilang pada orang
tuaku, tapi kita sahabat Fiona?”
By : Ni Made G.S.
(SMA N 2 Surakarta)
0 komentar:
Posting Komentar
Budayakan memberi komentar ya guys!