Share Your Hobby!

Rabu, 10 Oktober 2012

Dia Berbeda

13.15 Posted by SakhaN , No comments

Setangkai mawar putih tergeletak di depan pintu rumah? Tidak, tepatnya di depan pintu gubukku. Heran aku mengapa semua laki-laki melakukan itu? Segala warna mawar, segala macam bunga telah mampir di depan pintu gubukku. Aku lelah menerimanya. Berapa kali harus kukatakan pada laki-laki sialan itu bahwa aku tidak suka bunga, coklat, pukaran pink, dan boneka. Cowok-cowok itu boleh saja mengira semua gadis suka diperlakukan seperti itu, tapi yang pasti aku bukan salah satu dari gadis-gadis itu.
Aku masuk lagi ke dalam rumah dan membiarkan mawar-mawar itu tergeletak di depan pintu. Biarlah mawar itu layu di tempat. Aku mulai memanaskan air untuk membuat the dan menggoreng pisang goreng. Kulihat ibuku masih tidur nyenyak di kamar yang kami gunakan berdua. Ibuku wanita yang cantik dan hebat. Kalau bukan Janus, turis Australia bajingan yang sialnya adalah ayahku, mungkin ibu saat ini masih berdiri di panggung teater yang megah serta menerima tepukan antusias penonton dan tentu saja ia tidak akan pernah mengenal gubuk kumuh ini. Tentu aku juga tak perlu lahir, apalagi memendam sakit hati yang mendalam terhadap ayah.
Selesai membuat sarapan untuk ibu, aku bersiap-siap pergi bekerja. Aku Cuma seorang pembantu di komplek perumahan depan kampung kumuh ini. Kami tidak punya biaya untuk sekolah, jadi aku belajar sendiri. Sesekali membeli buku bekas jika punya uang lebih, dan belajar teater dari ibuku. Kutatap cermin sambil menyisir rambut berwarna tembaga sepinggang milikku. Cuma ini yang diwariskan ayahku yang tak tahu seperti apa mukanya. Kata ibu, mata coklatku seperti matanya. Aku selalu tersiksa membayangkan mata inilah yang akan kulihat saat menatap orang yang paling kubenci karena telah mencampakkan ibuku.
“Fiona….ayo cepat nanti telat lho”
Segera aku meninggalkan pesan untuk ibu dan ke kamar menemui Santi, sahabatku yang juga bekerja di komplek depan. Kami berjalan beriringan.
“Dapat bunga lagi ya?” selidik Santi. Hanya kujawab dengan anggukan malas.
“Enak banget sih kamu, Fi… semua cowok naksir sama kamu. Lagian mana ada orang yang bule-bule kayak kamu di sini, di kampong ini.”
“Ah, tapi malas, San. Cowok tuh sama semua. Lihat yang bening dikit langsung hajar. Kalau udah bosan buang trus cari lagi.” Aku langsung teringat ayah.
Santi yang sudah hafal pada keenggananku akan lelaki yang hanya mengangkat bahu. Begitu sampai di depan komplek, aku berbelok ke kanan, sedangkan Santi ke kiri. Rumah tempatku bekerja adalah sepasang pengacara kaya, mereka memiliki anak laki-laki tapi aku belum belum pernah bertemu dengannya.
 Seperti biasa, aku mulai pekerjaan dengan menyapu dan mengepel lantai. Dilanjutkan mengelap kaca, mencuci baju, dan berbagai pekerjaan Cinderella lainnya. Aku tidak suka bekerja seperti ini. Sebenarnya aku ingin sekali sekolah dan melanjutkan mimpi di panggung teater. Gara-gara ayah tidak mau memakai ibu di panggung lagi, sehingga kami harus tinggal di perumahan kumuh itu. Aku membereskan kamar pasangan pengacara itu, dilanjutkan dengan kamar anak mereka. Kubuka pintu bertuliskan “Adam’s”. Aku sedang membereskan meja saat kulihat setumpuk kertas di ujung meja. Macbeth by William Shakespeare. Wow, ibu punya naskah ini bekas dulu saat memerankan Lady Macbeth. Naskah itu sudah lusuh karena termakan waktu dan sering kubuka-buka. Pintu berdecit keras dan aku langsung menoleh ke belakang. Kulihat seorang laki-laki sebaya denganku memakai jins abu-abu dan kaos hitam.
“Adam! Ngagetin aja!” jantungku berdegup kencang sekali.
“Eh…Fiona ya? Maaf aku gak tahu. Kukira tadi sudah pulang.”
Ini pertama kalinya akumelihat Adam secara langsung. Pasti ia sama saja dengan cowok-cowok kurang kerjaan yang hobi meninggalkan mawar di depan pintuku. Hanya saja, Adam jauh lebih keren dari cowok-cowok itu.
“Oh ya sudah. Aku juga tinggal mencuci piring. Mencuci terus, seperti Lady Macbeth. Tapi ia kira noda darah di tangannya tak hilang-hilang. Kalau aku memang kerjaannya nggak beres-beres.” Aku tersenyum.
“Wow! Kamu baca naskah itu”
“Nggak sih, aku sudah baca, aku suka”
Adam tampaktakjub. Aku tersenyum lagi dan mohon diri ke dapur untuk mencuci piring.
Tak lama, Adam ikut menyusul ke dapur dan dengan santai ia duduk di lantai. Ia menemaniku cuci piring sambil membahas karya-karya Shakespeare yang lain. Aku senang karena akhirnya ada orang selain ibu yang bias kuajak berbincang mengenai hal-hal yang kusuka.
Di perjalanan pulang, Adam memenuhi pikiranku. Dia benar-benar tak seperti yang lain. Saat cowok-cowok lain cuma bias menggombal untuk mendapat perhatianku, Adam betul-betul menarik. Huh, tapi itu juga kan yang terjadi pada ibu saat bertemu ayah? Memang jatuh cinta itu tiada berguna.
***
Aku datang lebih pagi dari biasanya dan mendengar suara piano mengalun lembut. Aku penasaran siapa yang memainkannya. Belum pernah aku mendengar piano di ruang tengah itu dimainkan.
“Für Elise” aku menghampiri piano.
“Eh, Fiona! Tumben sudah dating! Wow, kamu tau Für Elise juga?” Adam takjub lagi.
“Iya, aku selalu pengin lho, bisa main piano” kutatap piano penuh damba.
Setelah nada terakhir dimainka, adam langsung menatapku.ia bingung kenapa aku yang….yah…pembantu, bias tahu hal-hal seperti Shakespeare dan Beethoven. Adam juga bingung kenapa rambutku berwarna tembaga dan wajahku tidak seperti orang Indonesia. Dengan enggan aku memberitahu bahwa ayahku orang Australia. Hanya itu yang kukatakan. Tak peduli betapa wajah Adam penasaran setengah mati. Aku meninggalkannya untuk bekerja.
***
“Fi, kamu pasti ada apa-apanya deh. Beberapa minggu kemarin senang melulu, sekarang tuh muka kayak dilipat tujuh kali.” Santi memainkan rambutku.
Saat ini kami sedang duduk di teras rumahnya. Kebetulan hari ini pekerjaan kami selesai lebih cepat. Beberapa hari ini, Adam pergi entah kemana dan entah mengapa itu mempengaruhi mood-ku. Padahal gara-gara Adam aku menjadi semangat bekerja. Kita sudah seperti sahabat, ia bahkan sudah tahu kisah ayah-ibuku. Itu benar-benar membuatku frustasi, aku tak pernah mengalami hal yang seperti ini. Apalagi cuma masalah cowok. Apa aku…suka Adam? Hah, tidak mungkin. Aku tak akan pernah jatuh ke dalam lubang tempat ibuku jatuh sebelumnya.
“Fiona…kalau udah galau-galau gini biasanya lagi jatuh cinta nih”
“Ih apa sih…nggak lah, nggak mungkin”
“Siapa ya? Hmmm….pasti anak si pengacara itu ya! Nah hlooo….”
Aku hanya mendorong lengan Santi pelan. Tak mungkin akujatuh cinta pada Adam. Adam Cuma sekedar memenuhi isi kepalaku, menambah pengetahuanku tentang teater dan music, membuatku ingin cepat-cepat pergi bekerja dan mempegaruhi mood-ku. Wah gawat! Tidak, aku tidak boleh membuka hati pada siapapun. Apalagi Adam. Jagan-jangan dia lebih parah dari yang lain atau mungkin lebih parah dari ayah.
***
“Fiona!”
“wah! Hai Adam! Kemana saja kamu?”
“Aku baru saja pulang dari New York dan nonton Wicked!”
“Wah..asyik banget! Aku selalu pengen liat Wicked”
Adam menceritakan pengalamannya selama di New York. Bahkan membawakanku CD lagu-lagu yang dipentaskan di Wicked. Dia bercerita panjang lebar sementara aku meneruskan pekerjaan. Ia mengikutiku kemana-mana sambil mengoceh. Setelah itu, ia mengajakku pergi akhir minggu ini untuk bebincang-bincang lebih banyak. Aku kaget dan sedikit ge-er.
“Hmmm….kenapa enggak sekarang aja?” aku pura-pura santai.
“Ya, kan kamunya sibuk gitu….nanti kan santai jadi enak. Terus aku juga mau bilang sesuatu.”
“Umm…oke deh, tapi belum tentu ya. Aku harus minta ijin ibu dulu”
***
Selama sisa hari menuju akhir minggu, aku gelisah. Apa yang kulakukan jika Adam menyatakan perasaan padaku? Apa yang kukatakan? Aku kan tak mau menjalin hubungan dengan laki. Bagaimana jika…..bagaimana jika…bagaimana jika. Pikiranku dipenuhi dengan ‘Bagaimana Jika’. Aku memutuskan untuk memberi tahu ibu. Anehnya ibu mendukungku dan menerima pernyataan cinta dari Adam, katanya manusia yang tersakiti karena cinta itu biasa.
Malam minggu tiba. Adam mengajakku jalan-jalan ke took music. Aku menggunakan minidress biru cerah milik ibuku dulu. Adam mengajakku makan malam di restoran pasta.
“Fiona…aku mau bilang sesuatu” Ayolah Adam nyatakan perasaanmu padaku.
“Apa Adam?” aku menjawab tersipu.
“Sebenarnya aku suka…”
katakan Adam, katakan kamu suka aku, aku tidak sabar.
“Aku suka dengan teman kuliahku berama Jeremy. Sebenarnya aku gay. Aku tidak berani bilang pada orang tuaku, tapi kita sahabat Fiona?”

By : Ni Made G.S.
(SMA N 2 Surakarta)

0 komentar:

Posting Komentar

Budayakan memberi komentar ya guys!