BAB
I
Bagian 1
BRUKK! Jona membanting tas sekolahnya ke lantai kamar. Dibenamkannya
seluruh mukanya ke bantal yang ada di kamarnya. Sayup-sayup masih terdengar
suara orang yang saling bentak di luar kamarnya. Jona sangat benci mereka
berdua. Ayah dan Ibunya.
Jona
bangkit dari tempat tidurnya. Langkahnya begitu pelan menuju ke kamar mandi
kamarnya. Matanya tampak kosong. Seperti tidak bernyawa. Dikuncinya pintu kamar
mandi. Tangannya membuka almari gantung di atas wastafel. Meraba-raba sebentar,
kemudian tangannya sudah membawa sebuah botol berwarna biru.
***
Bi
Tutik benar-benar gelisah. Sedari tadi ia hanya mondar-mandir di dapur. Ia
selalu merasa begitu saat bapak dan ibu besarnya bertengkar. Biasanya ia bisa
memendam rasa itu dengan melakukan tugas dapurnya. Tapi kali ini, ia
benar-benar tak tahan. Dihampirinya suaminya yang sedang bekerja di kebun.
Pak
Karman yang sedang merapikan mawar milik Ibu terkejut, saat melihat istrinya
berlari ke arahnya. Ia segera menghentikan kegiatannya. Sambil menghapus peluh,
ditunggunya istrinya hingga sampai ke tempatnya.
“Ada
apa tho, Bu? Kok pake lari-lari segala.” Pak Karman berusaha tersenyum. Tetapi
Bi Tutik tetap menampakkan wajak muramnya.
“Perasaanku
nggak enak, Pak.”
“Sakit?”
kini Pak Karman ikut menampakkan wajah cemasnya. Diletakkannya telapak tangan
kanannya ke kening istrinya. Normal. Tidak panas.
“Enggak,
Pak.”
“Terus,
kenapa?”
“Enggak
tahu, Pak. Tadi pas bapak bertengkar sama Ibu, tiba-tiba tubuh Tutik merinding
sendiri.”
“Ya
sudah lah. Kalo kamu nggak sakit ya nggak apa-apa. Mungkin cuma perasaan. Eh
sudah siang, lho. Kamu sudah siapin makan siang buat Den Jona?”
Bi
Tutki menepuk keningnya, “ah, aku lupa, Pak.” Tanpa menunggu, Bi Tutik segera
berlari menuju ke dapur. Ia benar-benar merasa bersalah pada tuan mudanya.
***
Bi
Tutik memandangi nasi goreng yang sudah setengah jam yang lalu terhidang. Ia
mulai bosan. Biasanya, saat ayah dan ibu Jona bertengkar, ia disuruh menemani
makan siang di dapur. Tapi sekarang, sudah setengah jam berlalu. Bi Tutik
teringat saat-saat pertama kali ia bekerja di rumah keluarga Pak Hartanto. Dulu
sekali, setelah pernikahan mereka. Pak Hartanto dan Bu Lestari menerimanya
sebagai pembantu rumah tangga. Sebenarnya, orang tua Bi Tutik dulu adalah
pembantu dan satpam orang tua Bu Lestari. Tapi setelah Bu Lestari menikah, Bi
Tutik menawarkan diri menjadi pembantu rumah tangga.
Setelah
dua tiga tahun pernikahan, Bu Lestari dikaruniai seorang anak laki-laki. Saat
itu Pak Hartanto sedang dinas di luar kota. Sebagai gantinya, Bi Tutiklah yang
mengurusi semua keperluan. Setelah tiga bulan, keluarga Pak Hartanto
mempekerjakan seorang tukang kebun. Lalu, Bu Lestari menawarkannya untuk
menjadi suami Bi Tutik. Bu Lestari pula yang menanggung biaya pernikahan. Saat
itu rasanya saat-saat terindah bagi Bi Tutik.
“Hayyo!
Ngelamun aja”
Bi
Tutik terkejut. Wajahnya memerah. Seakan-akan malu lamunannya diketahui
suaminya. Ia kembali teringat dengan Jona.
“Lho,
belum makan, Den Jona?”
Bi
Tutik menggeleng.
“Kok
nggak dipanggil?”
“Iya,
ini Tutik juga mau manggil, Pak.”
Bi
Tutik berjalan ke arah tangga. Kemudian berjalan cepat ke arah kamar Jona.
Diketoknya pintu kamar beberapa kali. Sepi. Diulanginya lagi. Tetap tidak ada
jawaban. Bi Tutik lekas turun lagi ke dapur. Di sana masih ada Pak Karman yang
sedang menyeruput kopi buatannya.
“Mana,
Bu?”
“Nggak
dijawab. Udah Tutik ketok-ketok tetep nggak ada jawaban.”
“Udah,
biar Bapak yang panggil.”
Pak
Karman meletakkan kopinya, kemudian menuju kamar Jona. Benar saja. Sudah
berkali-kali Pak Karman panggil, Jona tetap tidak menjawab. Bahkan sampai
dipukul-pukulnya pintu kayu itu. Bi Tutik ikut menghampiri suaminya.
“Jangan
keras-keras, Pak.”
“Nggak
apa-apa, Bu. Bapak sama Ibu lagi pergi. Daripada anaknya kelaparan. Bi Tutik
memutar hendel pintu. KLIK! Terbuka. Mereka berdua berpandangan sejenak.
Dari dalam tercium bau wangi pembersih kamar mandi.
Tanpa
komando, Pak Karman masuk kedalam kamar. Lupa sudah sopan-santun memasuki
kamar. Dalam pikirannya muncul dugaan-dugaan buruk. Bi Tutik mengikuti dari
belakang. Langkah mereka otomatis menuju kamar mandi yang tersembunyi pembatas
kayu. Jantung mereka berdetak keras. Semakin mendekat, semakin jelas suara air
kran yang masih mengalir ke dalam bak.
Langkah
mereka berhenti mendadak di depan kamar mandi. Bi Tutik tak tahan melihat apa
yang ada di depannya. Tangannya meremas lengan suaminya, kemudian berteriak “KYYAAAAAA!!”
***
Nantikan edisi selanjutnya minggu depan.!
0 komentar:
Posting Komentar
Budayakan memberi komentar ya guys!