Share Your Hobby!

Rabu, 17 Oktober 2012

Seonggok Taufan

13.49 Posted by SakhaN , No comments
BAB I

BAGIAN 2
Bi Tutik menangis tertahan dalam pelukan suaminya. Wajahnya sembab. Suaminya berusaha menghibur istrinya. Meski Jona bukan keluarga mereka, tetapi sudah mereka anggap sebagai anak kandung sendiri. Meski mereka hanya pembantu, Jona sangat menghormatinya.
Di dalam kamar rumah sakit, Jona masih tidak sadarkan diri. Seorang dokter dibantu dengan beberapa perawat memeriksa kondisi Jona. Darah yang keluar dari kepalanya telah dibersihkan. Bi Tutik beberapa kali melihat pintu kamar yang masih tetutup. Pak Karman ikut memandang cemas pintu kamar tempat Jona dirawat.
Tak berapa lama, dokter keluar diiringi para perawat di belakangnya. Dokter itu menghampiri Bi Tutik yang masih didekap Pak Karman. Pak karman segera melepas dekapannya setelah menyadari kehadiran Dokter itu. Bi Tutik menghapus air matanya. Para perawat meninggalkan mereka bertiga. Beberapa detik mereka saling diam.
“Bagaimana, Dok?” Pak Karman memulai pembicaraan. Dilihatnya name tag di seragam sang dokter. Tanto Hadi.
“Anda tidak perlu khawatir. Lukanya tidak terlalu serius. Tetapi..”
“Tapia pa, Dok?” Bi Tutik tampak tak sabar. Tangannya meremas tangan suaminya.
“Ehmm., luka di bagian kepalanya. Benturannya mungkin terlalu keras. Dan ini menyebabkan ingatannya hilang.”
“Amnesia?”
“Ya, kemungkinan agar ingatannya sembuh sangat sedikit.”
“Bolehkah saya menengoknya, Dok?”
“Silakan, saya akan memeriksa pasien lain. Permisi.”
Bi Tutik dan Pak Karman segera masuk ke kamar rawat Jona. Di ujung ruang, dekat jendela. Jona masih menutup mata di atas tempat tidur. Dadanya tampak naik turun. Hanya ini satu-satunya yang membuat Bi Tutik tahu jika Jona masih hidup. Suasana kamar itu benar-benar sepi. Bu Tutik duduk di samping ranjang Jona. Sementara itu, Pak Karman sedang berusaha menghubungi Pak Hartanto dan Bu Lestari. Berkali kali panggilan sibuk.
“Sudahlah, Pak. Mungkin mereka lagi sibuk.”
“Ya sudahlah, Bu. Bapak beli makan dulu, ya.”
Pak Karman keluar dari kamar meninggalkan Bi Tutik sendiri. Langkahnya bukan menuju ke kantin rumah sakit, tetapi justru ke pintu keluar. Tangannya melambai ke salah satu tukang ojek yang mangkal di sekitar situ. Setelah membonceng, disebutkannya sebuah nama tempat dengan ragu-ragu. Tukang ojek itu mengernyitkan dahi, kemudian mengendarai sepeda motornya menuju tempat yang ingin dituju penumpangnya.
***
Pak Hartanto merasa terganggu dengan suara rebut-ribut di depan ruang meetingnya. Disuruhnya asistennya untk mengecek ke luar. Saat asisten Pak Hartanto membuka pintu, seseorang yang berbaju sangat sederhana berlari masuk. Sambil masuk, ia mengatakan sesuatu dengan cepat. Dua orang satpam kantor berusaha menarik keluar laki-laki tersebut. Tetapi usaha mereka tampak sia-sia untuk laki-laki ini.
Pak Hartanto yang mengenali laki-laki itu terkejut.
“Pak Karman, A…..” belum selesai kalimatnya, laki-laki yang dipanggilnya Pak Karman itu memotong. Kata-katanya begitu cepat. Tiba-tiba laki-laki itu terjatuh pingsan. Pak Hartanto memerintahkan kedua satpamnya untuk membawa pak Karman ke ruang kesehatan. Kemudian ditekannya nomer yang ada di kontak hpnya.
***
Pak Hartanto berlari pelan melewati lorong-lorong rumah sakit. Kamar nomor 88. Bu Lestari yang sedari tadi berada di belakang suaminya menerobos masuk. Bi Tutk segera berdiri menyambut. Wajah Bu Lestari yang berlinang air mata langsung didekapkan pada tangan Jona. Berkali-kali diremasnya sambil terus-menerus dipanggilnya nama Jona. Berbeda dengan Pak Hartanto. Ia bahkan tidak mendekati ranjang putranya. Langkah kakinya justru tertuju ke arah jendela kamar rawat. Kemudian tersibukkan kembali dengan handphonenya. Bi Tutik membiarkan mereka berdua dengan aktifitas mereka. Tiba-tiba ia teringat dengan suaminya. Sudah satu jam suaminya pergi. Rasanya tidak mungkin jika makan menghabiskan waktu hingga satu jam.
“Tadi suami saya sudah berusaha menghubungi bapak sama Ibu. Tapi tidak diangkat.”
Tidak ada jawaban. Bu Lestari masih menangis, sementara Pak Hartanto masih asik menelefon.
“Tadi bapak bilang mau beli makan dulu. Tapi kok belum datang, ya..” Bi Tutik seakan berbicara pada dirinya sendiri. Tiba-tiba Pak Hartanto menjawab, “Oh, tadi Pak Karaman ke kantor saya. Dia yang member tahu saya.”
“Ohh… kalo begitu, apa Bapak tahu dimana suami saya sekarang?”
Kedua majikannya kembali asyik dengan aktifitas mereka. Kemudian Pak Hartanto menjawab lagi, “Pak Karman tadi lari dari lantai satu sampai lantai lima. Setelah member tahu saya, Pak Karman pingsan”
“Lalu di mana suami saya saat ini?”
Suasanya kembali hening.
“Jangan khawatir, suamimu sedang di rawat pegawai saya. Maaf, sepertinya aku harus pergi dulu. Ada rapat mendadak dengan client dari Singapura. Untuk biaya Jona, semua saya serahkan ke Bibi.”
Pak Hartanto berlalu begitu saja. Sebelum Bi Tutik sempat menjawab. Bahkan mulutnya belum sampai terbuka. Tiba-tiba saja rasa jijik memenuhi tubuhnya. Akal sehatnya perlahan lenyap. Diambilnya sebuah vas bunga dari atas meja. Kemudian ia berlari sekuat tenaga ke arah Pak Hartanto. Seperti dirasuki setan, tangannya mengayunkan vas keramik itu ke arah kepala Pak Hartanto.
DASAR ORANG TUA, BODOH! LENYAPLAH KAUUUU!!”
Vas keramik itu pecah berkeping-keping. Darah berceceran di lantai rumah sakit. Tubuh Bi Tutik bergetar hebat. Di depannya, tergeletak tubuh seorang laki-laki. Pak Hartanto yang terkejut melihat semuanya hanya terdiam. Hanphonenya masih menempel di telinganya. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab suara di ujung telepon. Dari dalam kamar, Bu Lestari memandang tidak percaya. Beberapa perawat yang kebetulan sedang lewat berlari mendekat. Mereka membawa laki-laki itu pergi. Suasana rumah sakit itu tiba-tiba sangat sepi.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Budayakan memberi komentar ya guys!