BAB I
BAGIAN
2
Bi
Tutik menangis tertahan dalam pelukan suaminya. Wajahnya sembab. Suaminya
berusaha menghibur istrinya. Meski Jona bukan keluarga mereka, tetapi sudah
mereka anggap sebagai anak kandung sendiri. Meski mereka hanya pembantu, Jona
sangat menghormatinya.
Di
dalam kamar rumah sakit, Jona masih tidak sadarkan diri. Seorang dokter dibantu
dengan beberapa perawat memeriksa kondisi Jona. Darah yang keluar dari
kepalanya telah dibersihkan. Bi Tutik beberapa kali melihat pintu kamar yang
masih tetutup. Pak Karman ikut memandang cemas pintu kamar tempat Jona dirawat.
Tak
berapa lama, dokter keluar diiringi para perawat di belakangnya. Dokter itu
menghampiri Bi Tutik yang masih didekap Pak Karman. Pak karman segera melepas
dekapannya setelah menyadari kehadiran Dokter itu. Bi Tutik menghapus air
matanya. Para perawat meninggalkan mereka bertiga. Beberapa detik mereka saling
diam.
“Bagaimana,
Dok?” Pak Karman memulai pembicaraan. Dilihatnya name tag di seragam sang
dokter. Tanto Hadi.
“Anda
tidak perlu khawatir. Lukanya tidak terlalu serius. Tetapi..”
“Tapia
pa, Dok?” Bi Tutik tampak tak sabar. Tangannya meremas tangan suaminya.
“Ehmm.,
luka di bagian kepalanya. Benturannya mungkin terlalu keras. Dan ini
menyebabkan ingatannya hilang.”
“Amnesia?”
“Ya,
kemungkinan agar ingatannya sembuh sangat sedikit.”
“Bolehkah
saya menengoknya, Dok?”
“Silakan,
saya akan memeriksa pasien lain. Permisi.”
Bi
Tutik dan Pak Karman segera masuk ke kamar rawat Jona. Di ujung ruang, dekat
jendela. Jona masih menutup mata di atas tempat tidur. Dadanya tampak naik
turun. Hanya ini satu-satunya yang membuat Bi Tutik tahu jika Jona masih hidup.
Suasana kamar itu benar-benar sepi. Bu Tutik duduk di samping ranjang Jona.
Sementara itu, Pak Karman sedang berusaha menghubungi Pak Hartanto dan Bu
Lestari. Berkali kali panggilan sibuk.
“Sudahlah,
Pak. Mungkin mereka lagi sibuk.”
“Ya
sudahlah, Bu. Bapak beli makan dulu, ya.”
Pak
Karman keluar dari kamar meninggalkan Bi Tutik sendiri. Langkahnya bukan menuju
ke kantin rumah sakit, tetapi justru ke pintu keluar. Tangannya melambai ke
salah satu tukang ojek yang mangkal di sekitar situ. Setelah membonceng,
disebutkannya sebuah nama tempat dengan ragu-ragu. Tukang ojek itu
mengernyitkan dahi, kemudian mengendarai sepeda motornya menuju tempat yang
ingin dituju penumpangnya.
***
Pak
Hartanto merasa terganggu dengan suara rebut-ribut di depan ruang meetingnya.
Disuruhnya asistennya untk mengecek ke luar. Saat asisten Pak Hartanto membuka
pintu, seseorang yang berbaju sangat sederhana berlari masuk. Sambil masuk, ia
mengatakan sesuatu dengan cepat. Dua orang satpam kantor berusaha menarik
keluar laki-laki tersebut. Tetapi usaha mereka tampak sia-sia untuk laki-laki
ini.
Pak
Hartanto yang mengenali laki-laki itu terkejut.
“Pak
Karman, A…..” belum selesai kalimatnya, laki-laki yang dipanggilnya Pak Karman
itu memotong. Kata-katanya begitu cepat. Tiba-tiba laki-laki itu terjatuh
pingsan. Pak Hartanto memerintahkan kedua satpamnya untuk membawa pak Karman ke
ruang kesehatan. Kemudian ditekannya nomer yang ada di kontak hpnya.
***
Pak
Hartanto berlari pelan melewati lorong-lorong rumah sakit. Kamar nomor 88. Bu
Lestari yang sedari tadi berada di belakang suaminya menerobos masuk. Bi Tutk
segera berdiri menyambut. Wajah Bu Lestari yang berlinang air mata langsung
didekapkan pada tangan Jona. Berkali-kali diremasnya sambil terus-menerus
dipanggilnya nama Jona. Berbeda dengan Pak Hartanto. Ia bahkan tidak mendekati
ranjang putranya. Langkah kakinya justru tertuju ke arah jendela kamar rawat.
Kemudian tersibukkan kembali dengan handphonenya. Bi Tutik membiarkan mereka
berdua dengan aktifitas mereka. Tiba-tiba ia teringat dengan suaminya. Sudah
satu jam suaminya pergi. Rasanya tidak mungkin jika makan menghabiskan waktu
hingga satu jam.
“Tadi
suami saya sudah berusaha menghubungi bapak sama Ibu. Tapi tidak diangkat.”
Tidak
ada jawaban. Bu Lestari masih menangis, sementara Pak Hartanto masih asik
menelefon.
“Tadi
bapak bilang mau beli makan dulu. Tapi kok belum datang, ya..” Bi Tutik seakan
berbicara pada dirinya sendiri. Tiba-tiba Pak Hartanto menjawab, “Oh, tadi Pak
Karaman ke kantor saya. Dia yang member tahu saya.”
“Ohh…
kalo begitu, apa Bapak tahu dimana suami saya sekarang?”
Kedua
majikannya kembali asyik dengan aktifitas mereka. Kemudian Pak Hartanto
menjawab lagi, “Pak Karman tadi lari dari lantai satu sampai lantai lima.
Setelah member tahu saya, Pak Karman pingsan”
“Lalu
di mana suami saya saat ini?”
Suasanya
kembali hening.
“Jangan
khawatir, suamimu sedang di rawat pegawai saya. Maaf, sepertinya aku harus
pergi dulu. Ada rapat mendadak dengan client dari Singapura. Untuk biaya Jona,
semua saya serahkan ke Bibi.”
Pak
Hartanto berlalu begitu saja. Sebelum Bi Tutik sempat menjawab. Bahkan mulutnya
belum sampai terbuka. Tiba-tiba saja rasa jijik memenuhi tubuhnya. Akal
sehatnya perlahan lenyap. Diambilnya sebuah vas bunga dari atas meja. Kemudian
ia berlari sekuat tenaga ke arah Pak Hartanto. Seperti dirasuki setan,
tangannya mengayunkan vas keramik itu ke arah kepala Pak Hartanto.
“DASAR
ORANG TUA, BODOH! LENYAPLAH KAUUUU!!”
Vas
keramik itu pecah berkeping-keping. Darah berceceran di lantai rumah sakit.
Tubuh Bi Tutik bergetar hebat. Di depannya, tergeletak tubuh seorang laki-laki.
Pak Hartanto yang terkejut melihat semuanya hanya terdiam. Hanphonenya masih
menempel di telinganya. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab suara di ujung
telepon. Dari dalam kamar, Bu Lestari memandang tidak percaya. Beberapa perawat
yang kebetulan sedang lewat berlari mendekat. Mereka membawa laki-laki itu
pergi. Suasana rumah sakit itu tiba-tiba sangat sepi.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Budayakan memberi komentar ya guys!