Share Your Hobby!

Kamis, 25 Oktober 2012

Seonggok Taufan

13.30 Posted by SakhaN , No comments

BAB I
BAGIAN 3
Bi Tutik benar-benar merasa berdosa. Tubuhnya tiba-tiba lemas. Ia terduduk di lantai. Membiarkan dua orang satpan rumah sakit membawanya pergi. Beberapa pengunjung pasien masih memandangi kepergian Bi Tutik dan dua orang satpam itu. Sementara sebagian kembali melakukan aktifitasnya.
Bi Tutik dibawa ke dalam sebuah ruangan kecil. Salah seorang satpam menunggu di luar ruangan, sementara satpam yang satunya menghubungi polisi. Dalam diam, Bi Tutik memandangi tangannya. Kilatan ingatan empat belas tahun yang lalu terulang.
Hujan yang deras diiringi petir menutup langit kota. Suasana sepi tiba-tiba terpecahkan oleh suara teriakan Bu Lestari. Bi Tutik berlari menghampiri suara majikannya. Wajah Bu Lestari dipenuhi peluh. Bi Tutik yang tanggap dengan kondisi itu segera menelepon salah satu rumah bersalin yang ada di kota.

Tak berapa lama kemudian, beberapa petugas dari rumah bersalin datang. Mereka membimbing Bu Lestari ke dalam ambulan. Bi Tutik mengikuti di belakang. Sambil berjalan, ia berusaha menghubungi Pak Hartanto. Panggilannya selalu gagal.
“Mari ikut saya!”
Bi Tutik memandang orang yang ada di depannya. Polisi. Ia kembali tersadar dari lamunannya. Tak perlu diperintah dua kali, Bi Tutik segera bangkit dan mengikuti polisi itu.
Sebuah mobil polisi sudah diparkir di depan pos satpam. baru kali ini ia naik mobil. Ini sudah menjadi keinginannya sejak kecil. Andai saja saat ini aku bukan sedang ditangkap polisi. Rasa antusiasnya naik mobil lenyap sudah.
Di dalam, ia hanya melamun. Pandangannya kosong. Sepanjang perjalanan, ia sama sekali tidak memikirkan apa-apa selain rasa penyesalannya. Ia merasa sangat berdosa. Ia merasa menjadi orang paling hina di dunia. Sebuah pikiran mengganggunya sejenak. Tapi kemudian lenyap begitu saja.
***
Dua hari setelah kejadian di rumah sakit, Pak Karman sudah bekerja lagi. Ia sudah tahu semua kejadian di rumah sakit. Bu Lestari memberitahunya langsung. Sekarang rumah besar dua lantai itu sangat sepi. Pak Hartanto benar-benar pergi untuk bisnisnya. Bahkan kini sedang ada di Australi. Sedangkan Bu Lestari menemani Jona yang baru saja sadar pagi ini.
Pak Karman menjalani rutinitas kerjanya seperti biasa. Ia berusaha mengabaikan perasaannya. Di rumah itu kini tinggal dia seorang. Rencananya ia akan menjenguk istrinya siang ini. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sebelum itu ia akan menjenguk Jona sekaligus berpamitan.
Sambil bersenandung, dirapikannya bunga-bunga yang ada di kemun milik Bu Lestari. Kemudian ia ke dapur. Membuat segelas kopi panas kesukaannya. Dalam hati ia masih tidak mempercayai tindakan yang dilakukan istrinya. Ada-ada saja kamu, Tik. Ia bergegas ke kamar mandi untuk mandi.
***
Siang sangat terik. Udara panas memanggang tubuh Pak Karman. Asap kendaraan dan udara panas menghilangkan wangi parfum yang dipakai Pak Karman. Maklum, parfum tiga ribuan. Ditambah bersesakan di dalam bus, membuat parfum murahan itu berubah menjadi aroma keringat.
Pak Karman turun dari bus tepat di depan rumah sakit tempat Jona dirawat. Dikeluarkannya sapu tangan pemberian bapaknya. Sapu tangan itu sudah lepas jahitan ujungnya. Pak Karman memandang sekitar sebentar. Kemudian melangkah masuk. Ia masih hafal letak kamar di mana Jona di rawat.
Sampai di sana, ia terkejut. Kamar tempat Jona dirawat sekarang telah bergantiyang memakai. Cepat-cepat Pak Karman keluar sambil meminta maaf. Kemudian ia melangkah ke meja resepsionis. Di sana tampak seorang perempuan berseragam perawat sedang menatap layar computer.
“Ada yang dapat saya bantu, Pak?” sapa perempuan itu ramah. Pakaian dan penampilan perempuan itu tampak lebih rapi seratus delapan puluh derajat dibandingkan dengan penampilan Pak Karman yang lusuh.
“Eee… saya mau nengok orang, Mbak. Tapi kok kamarnya sudah dipake orang lain ya?” pandangan Pak Karman tak lepas dari perempuan itu. Membandingkan penampilan keduanya.
“Boleh tahu kamar berapa?”
“Dahlia 7A”
Perempuan itu mengetikkan sesuatu ke komputernya. Kemudian membaca data yang ditampilkan. Jona Ardian Hartanto. Dipindahkankan ke kamar Wijayakusuma nomor 5. VIP. Dipandangnya Pak Karman yang beberapa kali mengelap peluh dengan sapu tangan bututnya. Masa orang ini saudaranya di kamar VIP? Aduuh! Beneran nggak, ya? Ah, paling-paling ini pembantunya. Segera disebutnya kamar tempat Jona dirawat sekarang. Kemudian menunjukkan tangga menuju kamar Jona. Paling-paling dikasih tahu lift juga nggak bisa make.
Pak Karman memasuki kamar rawat Jona yang baru. Ruangan itu lebih luas dari kamar jona di rumah. Hanya saja kamar itu dibagi dengan sebuah rung tamu dan kamar mandi. Sebuah AC terpasang di ujung ruang. Di setel agar kamar sejuk. Pak Karman senang tidak harus kepanasan lagi. Bu Lestari berdiri menymbut. Kemudian membiarkan Pak Karman menemui Jona.
 Di atas ranjang, Jona tampak sedang membaca buku. Ia menghentikan aktifitasnya setelah mendengar suara Pak Karman yang bercakap-cakap dengan ibunya.
“Hai Jona. Aku tukang kebunmu. Kau ingat?”
“Saya punya tukang kebun, kah?” Jona menampakkan wajah linglung.
Suasana hening. Tak sengaja, Pak Karman melihat wajah Bu Lestari meneteskan air matanya. Pak Karman menghampiri Jona yang masih kebingungan.
“Kau tahu siapa Dia?” bola mata Pak Karman menunjuk ke arah Bu Lestari berada tadinya.
Jona mengangguk, “Dia bilang dia ibuku.”
“Lalu, apa kau percaya?”
“Ehm” Jona mengangguk kecil.
“Kau ragu.”
Jona menggeleng, “Aku tidak tahu siapa dia. Tapi saat dia bilang dia ibuku, aku seperti merasa pernah mengenalnya.”
Pak Karman tertegun sejenak. Dielusnya kepala Jona perlahan, kemudian ia berpamitan hendak menjenguk istrinya. Bu Lestari memaklumi. Kemudian melepas kepergian Pak Karman.
***
Ruang jenguk rutan itu dibatasi oleh jeruji-jeruji besi. Seakan-akan yang menjenguk ikut masuk kedalam kurungan. Di salah satu bangku dalam ruangan itu, Pak Karman duduk. Menunggu istrinya datang.
Tak berapa lama, seorang polisi datang diiringi istrinya. Bi Tutik mendekat dan memeluk Pak Karman. Pak Karman menerima pelukan istrinya. Dalam diam, Pak Karman dan Bi Tutik sama-sama menangis. Pak Karman kemudian membimbing Bi Tutik ke salah satu bangku. Mereka terdiam.
Tiba-tiba Bi Tutik berbicara, “Masih ingatkah dengan yang kuceritakan saat kita menikah?”
“Soal apa?”
“Kelahiran mas Jona”
“Sudahlah. Jangan kau pikirkan lagi!”
“Bukan, Pak. Laki-laki itu. Yang aku pukul. Dia…..dia anak Bu Lestari yang sebenarnya.”
Pak Karman tidak percaya dengan yang diucapkannya. Setahunya, selain istrinya, hanya Pak Hartanto yang tahu cirri-ciri anak Bu Lestari yang ditukar Pak Hartanto.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Budayakan memberi komentar ya guys!