BAB I
BAGIAN
3
Bi
Tutik benar-benar merasa berdosa. Tubuhnya tiba-tiba lemas. Ia terduduk di
lantai. Membiarkan dua orang satpan rumah sakit membawanya pergi. Beberapa
pengunjung pasien masih memandangi kepergian Bi Tutik dan dua orang satpam itu.
Sementara sebagian kembali melakukan aktifitasnya.
Bi
Tutik dibawa ke dalam sebuah ruangan kecil. Salah seorang satpam menunggu di
luar ruangan, sementara satpam yang satunya menghubungi polisi. Dalam diam, Bi
Tutik memandangi tangannya. Kilatan ingatan empat belas tahun yang lalu
terulang.
Hujan
yang deras diiringi petir menutup langit kota. Suasana sepi tiba-tiba
terpecahkan oleh suara teriakan Bu Lestari. Bi Tutik berlari menghampiri suara
majikannya. Wajah Bu Lestari dipenuhi peluh. Bi Tutik yang tanggap dengan
kondisi itu segera menelepon salah satu rumah bersalin yang ada di kota.
Tak
berapa lama kemudian, beberapa petugas dari rumah bersalin datang. Mereka
membimbing Bu Lestari ke dalam ambulan. Bi Tutik mengikuti di belakang. Sambil
berjalan, ia berusaha menghubungi Pak Hartanto. Panggilannya selalu gagal.
“Mari
ikut saya!”
Bi
Tutik memandang orang yang ada di depannya. Polisi. Ia kembali tersadar dari
lamunannya. Tak perlu diperintah dua kali, Bi Tutik segera bangkit dan
mengikuti polisi itu.
Sebuah
mobil polisi sudah diparkir di depan pos satpam. baru kali ini ia naik mobil.
Ini sudah menjadi keinginannya sejak kecil. Andai saja saat ini aku bukan
sedang ditangkap polisi. Rasa antusiasnya naik mobil lenyap sudah.
Di
dalam, ia hanya melamun. Pandangannya kosong. Sepanjang perjalanan, ia sama
sekali tidak memikirkan apa-apa selain rasa penyesalannya. Ia merasa sangat
berdosa. Ia merasa menjadi orang paling hina di dunia. Sebuah pikiran
mengganggunya sejenak. Tapi kemudian lenyap begitu saja.
***
Dua
hari setelah kejadian di rumah sakit, Pak Karman sudah bekerja lagi. Ia sudah
tahu semua kejadian di rumah sakit. Bu Lestari memberitahunya langsung.
Sekarang rumah besar dua lantai itu sangat sepi. Pak Hartanto benar-benar pergi
untuk bisnisnya. Bahkan kini sedang ada di Australi. Sedangkan Bu Lestari
menemani Jona yang baru saja sadar pagi ini.
Pak
Karman menjalani rutinitas kerjanya seperti biasa. Ia berusaha mengabaikan
perasaannya. Di rumah itu kini tinggal dia seorang. Rencananya ia akan
menjenguk istrinya siang ini. Setelah menyelesaikan semua pekerjaannya. Sebelum
itu ia akan menjenguk Jona sekaligus berpamitan.
Sambil
bersenandung, dirapikannya bunga-bunga yang ada di kemun milik Bu Lestari.
Kemudian ia ke dapur. Membuat segelas kopi panas kesukaannya. Dalam hati ia
masih tidak mempercayai tindakan yang dilakukan istrinya. Ada-ada saja kamu,
Tik. Ia bergegas ke kamar mandi untuk mandi.
***
Siang
sangat terik. Udara panas memanggang tubuh Pak Karman. Asap kendaraan dan udara
panas menghilangkan wangi parfum yang dipakai Pak Karman. Maklum, parfum tiga
ribuan. Ditambah bersesakan di dalam bus, membuat parfum murahan itu berubah
menjadi aroma keringat.
Pak
Karman turun dari bus tepat di depan rumah sakit tempat Jona dirawat.
Dikeluarkannya sapu tangan pemberian bapaknya. Sapu tangan itu sudah lepas
jahitan ujungnya. Pak Karman memandang sekitar sebentar. Kemudian melangkah
masuk. Ia masih hafal letak kamar di mana Jona di rawat.
Sampai
di sana, ia terkejut. Kamar tempat Jona dirawat sekarang telah bergantiyang
memakai. Cepat-cepat Pak Karman keluar sambil meminta maaf. Kemudian ia
melangkah ke meja resepsionis. Di sana tampak seorang perempuan berseragam
perawat sedang menatap layar computer.
“Ada
yang dapat saya bantu, Pak?” sapa perempuan itu ramah. Pakaian dan penampilan
perempuan itu tampak lebih rapi seratus delapan puluh derajat dibandingkan
dengan penampilan Pak Karman yang lusuh.
“Eee…
saya mau nengok orang, Mbak. Tapi kok kamarnya sudah dipake orang lain ya?”
pandangan Pak Karman tak lepas dari perempuan itu. Membandingkan penampilan
keduanya.
“Boleh
tahu kamar berapa?”
“Dahlia
7A”
Perempuan
itu mengetikkan sesuatu ke komputernya. Kemudian membaca data yang ditampilkan.
Jona Ardian Hartanto. Dipindahkankan ke kamar Wijayakusuma nomor 5. VIP.
Dipandangnya Pak Karman yang beberapa kali mengelap peluh dengan sapu tangan
bututnya. Masa orang ini saudaranya di kamar VIP? Aduuh! Beneran nggak, ya?
Ah, paling-paling ini pembantunya. Segera disebutnya kamar tempat Jona
dirawat sekarang. Kemudian menunjukkan tangga menuju kamar Jona. Paling-paling
dikasih tahu lift juga nggak bisa make.
Pak
Karman memasuki kamar rawat Jona yang baru. Ruangan itu lebih luas dari kamar
jona di rumah. Hanya saja kamar itu dibagi dengan sebuah rung tamu dan kamar
mandi. Sebuah AC terpasang di ujung ruang. Di setel agar kamar sejuk. Pak
Karman senang tidak harus kepanasan lagi. Bu Lestari berdiri menymbut. Kemudian
membiarkan Pak Karman menemui Jona.
Di atas ranjang, Jona tampak sedang membaca
buku. Ia menghentikan aktifitasnya setelah mendengar suara Pak Karman yang
bercakap-cakap dengan ibunya.
“Hai
Jona. Aku tukang kebunmu. Kau ingat?”
“Saya
punya tukang kebun, kah?” Jona menampakkan wajah linglung.
Suasana
hening. Tak sengaja, Pak Karman melihat wajah Bu Lestari meneteskan air
matanya. Pak Karman menghampiri Jona yang masih kebingungan.
“Kau
tahu siapa Dia?” bola mata Pak Karman menunjuk ke arah Bu Lestari berada
tadinya.
Jona
mengangguk, “Dia bilang dia ibuku.”
“Lalu,
apa kau percaya?”
“Ehm”
Jona mengangguk kecil.
“Kau
ragu.”
Jona
menggeleng, “Aku tidak tahu siapa dia. Tapi saat dia bilang dia ibuku, aku
seperti merasa pernah mengenalnya.”
Pak
Karman tertegun sejenak. Dielusnya kepala Jona perlahan, kemudian ia berpamitan
hendak menjenguk istrinya. Bu Lestari memaklumi. Kemudian melepas kepergian Pak
Karman.
***
Ruang
jenguk rutan itu dibatasi oleh jeruji-jeruji besi. Seakan-akan yang menjenguk
ikut masuk kedalam kurungan. Di salah satu bangku dalam ruangan itu, Pak Karman
duduk. Menunggu istrinya datang.
Tak
berapa lama, seorang polisi datang diiringi istrinya. Bi Tutik mendekat dan
memeluk Pak Karman. Pak Karman menerima pelukan istrinya. Dalam diam, Pak
Karman dan Bi Tutik sama-sama menangis. Pak Karman kemudian membimbing Bi Tutik
ke salah satu bangku. Mereka terdiam.
Tiba-tiba
Bi Tutik berbicara, “Masih ingatkah dengan yang kuceritakan saat kita menikah?”
“Soal
apa?”
“Kelahiran
mas Jona”
“Sudahlah.
Jangan kau pikirkan lagi!”
“Bukan,
Pak. Laki-laki itu. Yang aku pukul. Dia…..dia anak Bu Lestari yang sebenarnya.”
Pak
Karman tidak percaya dengan yang diucapkannya. Setahunya, selain istrinya,
hanya Pak Hartanto yang tahu cirri-ciri anak Bu Lestari yang ditukar Pak
Hartanto.
***
0 komentar:
Posting Komentar
Budayakan memberi komentar ya guys!